TEORI SOSIOKULTUR

Share:
TEORI SOSIOKULTUR


Abstrak
Proses interaksi sosial remaja terjadi melalui proses imitasi yaitu remaja melakukan imitasi dengan tokoh idola, melalui internet, dan melalui televisi, sugesti yaitu remaja melakukan sugesti terhadap diri sendiri dan mendapatkan sugesti dari orangtua, tutor, dan teman, identifikasi yaitu remaja mengidentifikasikan dirinya terhadap orangtua, dan simpati, baik simpati terhadap teman sebaya yaitu remaja perlihatkan dengan memberikan solusi yang tepat kepada teman yang sedang mengalami kesulitan maupun simpati terhadap lawan jenis yaitu remaja perlihatkan dengan melakukan pendekatan kepada lawan jenis yang mereka sukai. Interaksi sosial remaja terjadi dalam dua bentuk, yaitu asosiatif berupa kerjasama dan disosiatif berupa pertentangan.

Kata-kata kunci: interaksi sosial, remaja, imtasi, sugesti

Pendahuluan
Teori belajar sosiokultur berangkat dari penyadaran tentang betapa pentingnya sebuah pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di mana pendidikan dan kebudayaan berbicara pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai. Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 7) telah menjalin tiga pengertian manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan. Oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat.
H.A.R Tilaar (2002: 41) sendiri berpendapat bahwa kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan yang artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan dan motivasi.
Pentingnya kebudayaan dalam kehidupan manusia inilah yang kemudian mendasari bahwa kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Melihat kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya, bahwa masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki anggota yang heterogenitas dan pluralitas..

Pembahasan
Teori belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar ko-kontruktivistik merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai level perkembangan aktual yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran yang menyangkut ZPD, yaitu:  (1) Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain. (2) Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri. (3) Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.  (4) Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk berfikir abstrak.
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan; (2) scaffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) secara spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah : (1) Membantu memecahkan masalah Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya. (2) Memudahkan dalam melakukan tindakan Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan. (3) Memperluas kemampuan Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang ada di sekitarnya. (4) Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya. Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.
Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu : (1) Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. (2) Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya. (3) Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya. (4) Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah (5) Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi.
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer yang mengelola sumber belajar, serta sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya, siswalah yang dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu pengetahuan.

Penutup
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar sosiokultur, proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.

Daftar Rujukan
Pressley, M. & McCormick, C. B. 2007. Child and Adolescent Development for Educators. New York: The Guilford Press.
H.A.R. Tilaar. (2002). Pendidikan Kebudayaan dan masyarakat Madani Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. 

Moll, Luis C. (1993). Vygotsky & Education Instructional Implications and Applications of Sociohistorical Psychology. Australia : Cambridge University Press.

Semoga Bermanfaat salam : Arif Andrian

No comments