Membumikan Nilai Islam dalam Berbangsa dan Bernegara

Share:
Kita bersama melihat kegaduhan politik sampai kini tidak berujung. Bukan pertentangan ideologis seperti pertengan ideologi islam dan nasionalisme melainkan kegaduhan para elite politik yang semakin jauh dari nilai-nilai yang digariskan oleh konstitusi. Akibatnya dunia politik dihiasi dengan politik jangka pendek yang serba pragmatis, memanfaatkan suara rakyat demi kepentingan kekuasaan semata. Negara yang bersama-sama kita cintai, Indonesia, biarpun sudah merdeka secara de facto dan de jure pada 69 tahun silam, nyatanya belum beranjak dari masalah kemiskinan, kebodohan, dan pertikaian antar anak bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa bisa dikatakan belum terwujud sampai detik ini. 


Ketika Indonesia masih berumur jagung, pertentangan ideologi antara golongan Islam dan nasionalisme ketara sekali. Yang teringat di benak pikiran kita adalah pemberontakan PRRI/Permesta pada 1950-an oleh Kartosoewirjo dimana Ia dan pengikutnya ingin deklarasikan Negara Islam Indonesia (NII). Perjuangan Kartosoewirjo yang frontal tersebut jelas melanggar konstitusi negara dimana Indonesia terapkan Pancasila sebagai Ideologi negara. Nampaknya teman satu perguruan Soekarno di Gang Paneleh VII tersebut kecewa dengan pemerintah yang masih berumur belia tersebut. Pertentangan tersebut bukan pertama kalinya terjadi. Saat perumusan konstitusi negara, terjadi perdebatan yang hebat antara golongan Islam dan nasionalis saat sidang BPUPKI. Dalam sidang ini, golongan Islam menginginkan Islam sebagai landasan negara, sementara golongan nasionalis sebaliknya. Pertentangan ini biarpun alot, tak ada pertumpahan darah yang terjadi. Lima butir Pancasila yang ada saat ini merupakan hasil dari musyawarah  antara golongan Islam dan nasionalis. 

Lebih jauh lagi sebelum Indonesia merdeka, golongan Islam yang berkumpul dalam wadah Islam, memiliki peranan besar dalam menumbuhkan semangat persatuan dan kebangsaan. Seperti halnya HOS Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam (SI) yang dipimpinnya mampu mengumpulkan 2.5 juta kaum pribumi bumiputera yang beragama Islam untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Melalui wadah SI, kaum muslimin bumiputera yang mayoritas menjadi warga kelas tiga dan disebut seperempat manusia oleh penjajah Belanda memiliki harapan untuk menjadi manusia utuh dan merdeka. Pasca berdirinya SI dalam pimpinan Cokro, timbullah pertentangan warga pribumi muslim kepada penjajah Belanda apalagi setelah SI dimasuki ideologi kiri yang dikomandoi oleh Semaun. Pertentangan-pertentangan ini menjadi cikal-bakal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1945. 

Islam-Nasionalis Bersatu dalam Pancasila 

Di era orde lama saat Soekarno memimpin Indonesia, pertikaian ideologis antara islam dan nasionalis tak bisa dihindarkan bahkan sampai pada pertumpahan darah. Namun perlahan tapi pasti golongan Islam bersedia mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini terjadi pada era orde baru ketika Soeharto memimpin. Pada masa ini semua organisasi tak terkecuali Islam harus mengubah asas organisasinya menjadi asas Pancasila. Pertentangan pun  tak bisa dihindari biarpun meredam pada akhirnya. Cara pemaksaaan ideologi Pancasila memang sangat tidak santun, namun terbukti melalui momen inilah konsep islam dan nasionalisme dalam keberjalanannya dapat saling beriringan. 

Sejak itu tak ada lagi pertentangan ideologis antara asas islam dan pancasila dalam bernegara. Memang tidak bersih sama sekali dari kontra dan pertentangan, buktinya masih banyak golongan yang tidak mengakui konsep nasionalisme seperti dengan mengusung Daulah Islamiah dalam bingkai Khilafah, namun setidaknya golongan tersebut tidak membuat onar dan kekerasan dalam membawakan ide-idenya. Biarpun demikian, secara umum segenap elemen bangsa yang mayoritas muslim ini mengakui bahwa Pancasila sebagai landasan negara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pancasila adalah asas final dari republik yang didalamnya hidup beraneka ras, suku, agama, budaya, dan bangsa.  

Pancasila yang terdiri dari lima pasal ternyata dijiwai dari nilai-nilai Islam. Pasal satu yang berbunyi Ketuhanan Yang MahaEsa menegaskan bahwa negara ini bersandar pada Tuhan Yang MahaEsa, Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dalam upaya menjalankan visi-misi negara. Pasal kedua sampai terakhir sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jelas bahwa tak ada pertentangan antara nilai Islam dan Pancasila.  

Merawat Pancasila dalam Bingkai Islam 

Islam tidak dapat dilepaskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Islam bisa dikatakan sebagai jiwa pemberontakan bangsa Indonesia terhadap segala bentuk penindasan dan pertumpahan darah. Sebagai bukti Islam mampu menjadi motor penggerak rakyat untuk bersatupadu melawan Penjajah di waktuwaktu silam dan juga para intelektual Islam turut serta dalam upaya merancang arah gerak negara Indonesia yang masih muda belia. Tegasnya Islam Indonesia menyatu dalam konsep nasionalisme dan turut serta menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Islam sangat menjunjung persaudaraan terhadap semua golongan, seperti yang difirmankan Allah dalam QS. Al-Hujarat : 13 "Wahai Manusia ! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal". 

Merawat Pancasila sama halnya dengan menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia dari perpecahan. Pancasila kita jiwai nilainya dalam upaya hidup dan berkehidupan di negeri ini. Ia tidak lagi sebagai doktrin yang dipaksakan seperti yang terjadi pada masa rezim orde baru. Kita tak lagi memaksakan Islam sebagai ideologi tunggal bangsa dengan menganti Pancasila sebagai ideologi negara melalui jalan kekerasan atas nama agama seperti yang terjadi di Timur Tengah belakangan ini, namun kita memakai Islam sebagai landasan hidup kita termasuk dalam berpolitik. Islam sebagai cara hidup, way of life. Kita jangan terperdaya dengan gantinya Indonesia sebagai negara Islam lantas bangsa ini akan menjadi negara yang cinta damai seperti Madinah pasca Piagam Madinah. Justru Indonesia akan menjadi negara yang terpecah belah mengingat umat Islam Indonesia masih berkutat dalam kemiskinan dan kebodohan.  

Terwujud Negara Madani 

Pertentangan ideologi antara islam dan nasionalisme saat ini memang tak santer terdengar  seperti yang terjadi di awal kemerdekaan, namun kini kita dihadapkan pada masalah baru yakni semakin jauhnya elite republik ini dari citacita bangsa yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Dunia politik semakin pragmatis dengan hanya mengunggulkan kepentingan pribadi atau golongan. Para elite juga terlihat jauh dari norma-norma dan nilai-nilai agama. Mereka sering bertikai sendiri dan abai dengan kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Islam sebagai way of life selayaknya menjadi pijakan kita bersama untuk menggerakkan bangsa ini ke arah kemajuan. Saat ini Islam di Timur Tengah sedang bergejolak. Bisa jadi di kemudian hari kiblat Islam berpindah ke negaranegara Asia Tenggara seperti Indonesia. Kunci dari halnya tak lain adalah hanya dengan berpegang teguh pada Allah dan Rasul-Nya seperti firman-Nya dalam QS. Al-Anfal : 46, " Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar". 

Indonesia berbeda dengan negara-negara barat yang memisahkan agama dan negara (sekularisme). Di Indonesia Islam menjiwai negara dan negara sama sekali tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai Islam. Sejarah membuktikan bahwa Islam dan politik dapat berdampingan. Sekarang tinggal bagaimana para elite negara ini menjalankan ajaran Islam dengan benar agar mereka tidak terjerumus pada tindakan kotor seperti korupsi dan mempecahbelah umat. Kita bersama ingin mencitakakan Indonesia yang adil, makmur, yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wata'ala, Baldatun Toyyibatun Wa Robbun Ghofuur.

Isi buku: Peran Teknologi dalam Pembangunan (Uruqul Nadhif Dzakiy)
Semoga Bermanfaat Salam :Moh. Arif Andrian

No comments