URGENSI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

Share:

Pengantar 

Indonesia merupakan salah satu negara multi etnis, ras, suku, bahasa, budaya, dan agama. Keragaman ini sering menjadi pemicu disharmoni di antara warga negara. Kekerasan yang dilakukan suatu kelompok terhadap kelompok lain meng  atasnamakan agama merupakan contoh konkrit disharmoni yang sering terjadi di masyarakat kita. Aktualisasi nilai dan karakter luhur Pancasila merupakan alat yang dapat digunakan untuk menyeleraskan disharmoni yang terjadi. Namun, mata kuliah Pancasila diajarkan di Perguruan Tinggi masih memiliki beberapa kelemahan. 
Beberapa kelemahan tersebut di antaranya adalah pola dan praktik pembelajaran masih bersifat indoktrinatif, muatan materi ajar sarat dengan kepentingan subjektif rezim penguasa, dan mengabaikan dimensi afektif dan psikomotorik sebagai bagian integral pencapaian hasil belajar. Berangkat dari beberapa kelemahan tersebut, perkuliahan dalam paket ini difokuskan pada ketercapaian sikap sadar diri sebagai warga negara melalui pemahaman terhadap konsep dasar dan nilai-nilai Pancasila dan Kewarganegaraan. 


Pengertian Pancasila 

Secara etimologi dalam bahasa Sansekerta (bahasa Brahmana India), Pancasila berasal dari  kata “Panca” dan “Sila”. Panca artinya lima, sila atau syila yang berarti batu sendi atau dasar. Kata sila bisa juga berasal dari kata susila, yaitu tingkah laku yang baik. Jadi, Pancasila adalah lima batu sendi atau pancasila adalah lima tingkah laku yang baik.[1]

[1] Sunaryo Wreksosoehardjo dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 136 

Secara terminologi, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang B PUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara. Pancasila dirumuskan berbedabeda oleh para tokoh pada masa lalu, dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. 
Pancasila menurut Mr. Moh. Yamin sebagaimana yang disam paikan dalam siding  BPUPKI pada 29 Mei 1945, isinya sebagai berikut: (1) Prikebangsaan, (2) Prikemanusiaan, (3) Pri ketuhanan, (4) Prikerakyatan, dan (5) Kesejahteraan Rakyat. 
Menurut Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945 di depan sidang B PUPKI, Pancasila memuat hal sebagai berikut: (1) Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Prikemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan yang berkebudayaan. Pancasila dalam Piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945 adalah sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Sedangkan rumusan Pancasila yang secara konstitusional sah dan benar adalah rumusan Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[2]

[2] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 140-143

Sejarah Perkembangan Pancasila 

a. Konseptualisasi Pancasila 

Pancasila sebagai wujud kesepakatan nasional merupakan hasil eksplorasi nilai-nilai yang bersumber dari adat-istiadat, budaya, keberagamaan, pemikiran, dan pandangan hidup selu ruh komponen bangsa yang ada di bumi nusantara dan meliputi kemajemukan dalam suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Dalam konteks itu, maka Pancasila merupakan miniatur nilai kebangsaan secara totalitas yang sudah fi nal dan harga mati. Kelahirannya berawal dari berbagai perkembangan dan perd ebatan dari waktu ke waktu dan dari berbagai kajian, pembahasan, perumusan hingga pege sah an yang melibatkan berbagai bentuk kelembagaan, yakni Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia dan Sembilan dan terakhir Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Konseptualisasi Pancasila tersebut, bisa dipelajari dari beberapa tahapan yang secara detail sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

1) Sidang  BPUPKI Pertama  (28 Mei – 1 Juni 1945) 
Dalam sidang  BPUPKI pertama ini beberapa tokoh berpidato secara berurutan selama empat hari. Mereka bekerja pada 28 Mei 1945, dimulai dengan adanya upacara pembukaan dan pada keesokan harinya baru dimulai dengan sidang-sidang (29 Mei – 1 Juni 1945). Sesuai urutan hari, tokoh yang berpidato antara lain: (1) pada 29 Mei, Mr. Moh. Yamin (2) pada 31 Mei, Prof S oepomo (3) pada 1 Juni, Ir.   Soekarno.

2) Mr.  Mohammad Yamin (29 Mei 1945) 
Sebagai orang pertama yang diberi kesempatan berpidato dalam sidang I B PUPKI pada 29 Mei 1945, M ohammad Yamin mengusulkan usulan (lisan) rumusan dasar Negara Indonesia sebagai berikut: (1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusiaan, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan Rakyat. Selain usulan lisan tersebut, Mohammad Yamin kemudian mengusulkan usulan tertulis mengenai dasar Negara kebangsaan dengan rumusan sebagai berikut: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kebangsaan Persatuan Indonesia, (3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[3] 

[3] Al Marsudi, Subandi, dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 100

Pada akhir pidatonya, Mr.  Mohammad Yamin menyerahkan naskah sebagai lampiran yaitu suatu rancangan usulan sementara berisi rumusan UUD RI dan rancangan itu dimulai dengan Pembukaan yang berbunyi adalah sebagai berikut: “Untuk membentuk Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekeluargaan, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan  Indonesia, dan Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”[4]

[4] Pringgodigdo AG, Al Marsudi, Subandi, dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 102

3) Prof. Dr.  Soepomo (31 Mei 1945) 
Berbeda dengan usulan Mr. Moh. Yamin, Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori Negara sebagai berikut: (1) Teori Negara perseorangan (Individualis) sebagai diajarkan oleh Thomas Hobbes (abad 17),  Jean Jacques  Rousseau (Abad 18) Herbert Spencer (Abad 19),  H.J. Laski (abad 20). Menurut paham tersebut, Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu (contract social). Paham negara ini banyak terdapat di Eropa dan Amerika. (2) Paham Negara kelas (Class Theory) atau teori ‘golongan’. Teori ini sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engels, dan L enin. Negara adalah alat dari suatu golongan (Klasse) untuk menindas orang lain. Negara kapitalis adalah alat dari kaum borjuis, oleh karena itu kaum Marxis menganjurkan untuk meraih kekuasaan agar kaum buruh bisa berganti menindas kaum borjuis. (3) Paham Negara Integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Ada, M uller Hegel (abad 18 dan 19). Menurut paham itu, Negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara adalah susunan masyarakat yang integral, melingkupi semua golongan, di mana sebagian atau seluruhnya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan organis. Menurut paham tersebut, yang terpenting dalam negara adalah kesejahteraan hidup bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau yang paling besar. Negara juga tidak memandang kepentingan seseorang sebagai pusat perhatian, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan.[5] 
Dalam rangka Prof. Dr. Soepomo, yang sumbernya dikutip dari buku karangan Mohammad Yamin “Naskah Persiapan UUD 1945”, beliau mengusulkan usulan rumusan lima besar dasar Negara sebagai berikut: (1) Persatuan, (2) Kekeluargaan, (3) Keseimbangan lahir batin, (4) Musyawarah, dan (4) Keadilan rakyat.[6]

[5] Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI),” dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan AMPEL Press, 2011), 104 
[6] Nugroho Notosusanto, dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 104

4) Ir.   Soekarno (1 Juni 1945) 
Dalam pidato Sidang  BPUPKI pertama yang disampaikan tanpa teks, Ir. Soekarno mengusulkan adanya dasar Negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut: (1) Kebangsaan (Nasionalisme), (2) Peri Kemanusiaan (Internasionalisme), (3) Mufakat (demokrasi), (4) Keadilan Sosial, dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa.[7] Lima prinsip sebagai dasar Negara tersebut kemudian oleh  Soekarno disarikan menjadi Tri Sila yang meliputi: (1) Sosio nasionalime yang merupakan sintesa dari “Kebangsaan” (nasionalisme) dengan “Peri Kemanusiaan” (Internasionalisme). (2) Sosio demokarsi yang merupakan sintesa dari “mufakat” (demokrasi), dengan “Kesejahteraan Sosial”. (3) Ketuhanan.  
Soekarno juga mengusulkan bahwa “Tri Sila” tersebut juga dapat disarikan menjadi “Eka Sila” yang intinya adalah “gotong royong”. Beliau mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar fi lsafat Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau “philosphische grondslag” yang setingkat dengan pandangan dunia dan atau aliran-aliran besar dunia sebagai “weltanschauung” dan di atas dasar itulah bediri Negara Indonesia. Usulan Soekarno tersebut sangat menarik untuk dikaji, karena beliau dalam mengusulkan dasar Negara tersebut selain secara lisan juga dalam uraiannya membandingkan dasar fi lsafat Negara “Pancasila” dengan ideologi-ideologi besar dunia seperti liberalisme, komunisme, chauvinisme, kosmopolitisme, San Min Chui dan ideologi besar dunia lainnya.[8]

[7] Al Marsudi, H. Subandi, dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 104 
[8]  Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Risalah Sidang”, 106 

Setelah usulan-usulan ditampung, selanjutnya dibentuklah suatu panita kecil berjumlah delapan orang yang kemudian dikenal dengan istilah “panitia 8” untuk menyusun dan mengelompokkan semua usulan tertulis. Panitia 8 tersebut terdiri dari: (1) Ir. Soekarno (Ketua), (2) Drs. Moh. Hatta, (3) M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, (4) K.H. W achid Hasyim, (5) K i Bagus Hadikoesoemo, (6) Rd. O tto Iskandardinata, (7) Moh. Yamin, dan (8) Mr. A lfred Andre Maramis. Setelah para panitia kecil yang berjumlah delapan orang tersebut bekerja meneliti dan mengelompokkan usulan yang masuk, diketahui ada perbedaan pendapat dari para anggota sidang yang beragama Islam menghendaki bahwa Negara berdasar Syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki bahwa Negara tidak mendasarkan hukum salah satu agama tertentu, untuk mengatasi perbedaan ini, maka dibentuk lagi suatu panitia kecil yang berjumlah sembilan orang yang dikenal sebagai “Panitia Sembilan” yang anggotanya juga berasal dari golongan nasionalis yaitu: (1) Ir.  Soekarno (Ketua), (2) Mr. Yamin, (3) K.H. W achid Hasyim, (4) Drs. Moh.Hatta, (5) K.H. Abdul Kahar Moezakir, (6) Mr. Maramis, (7)  Mr. Soetardjo Kartohadikoesoemo, (8) Abi Kusno Tjokrosoejoso, dan (9) H.  Agus Salim. 
Panitia Sembilan bersidang pada 22 Juni 1945 dan menghasilkan kesepakatan yang menurut Ir. Soekarno adalah suatu modus kesepakatan yang dituangkan di dalam Mukadimah (Preambule) Hukum Dasar, Alinea keempat dalam rumu san dasar Negara sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpeme luknya. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Dari lima konsep di atas,  Mohammad Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama “Piagam Jakarta”.

5) Sidang  BPUPKI Kedua (10 -16 Juli 1945) 
Pada saat sidang kedua B PUPKI yang diselenggarakan 10 Juli 1945, Ir. Soekarno diminta menjelaskan tentang kesepakatan pada 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta). Oleh karena sudah mencapai kesepakatan, dan “Panitia Sembilan” semua menerima dengan bulat, baik yang Islam maupun kelompok yang nasionalis, maka pembicaraan dianggap sudah selesai. Selanjutnya dibicarakan  mengenai materi Undang-Undang Dasar (Pasal demi pasal) dan diserahkan kepada Mr. Soepomo. Demikian pula mengenai susunan pemerintahan Negara yang terdapat dalam penjelasan UUD.
Yang menarik dari hasil rapat  BPUPKI kedua itu adalah bahwa dalam rapat 10 Juli 1945 telah diputuskan bentuk negara. Dari 64 suara (ada beberapa anggota yang tidak hadir) yang setuju bentuk negara republik berjumlah 55 orang, sementara 6 orang setuju berbentuk kerajaan, dan pilihan lain 1 orang. Pada rapat  BPUPKI 10 Juli 1945 itu ada keputusan penting yang cukup menarik lainnya, yakni tentang luas negara baru. Dalam rapat tersebut terdapat 3 usulan yaitu (1) Hindia Belanda yang dulu, (2) Hindia Belanda ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (Borneo Inggris), Irian Timur, Timur Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya, (3) Hindia Belanda ditambah Malaya, akan tetapi dikurangi Irian Barat. Berdasar hasil pemungutan suara dari 66 suara yang memilih (1) berjumlah 19 orang, yang memilih (2) yaitu daerah terbesar berjumlah 39 orang, sedangkan yang memilih (3) berjumlah 6 orang dan lain-lain daerah 1 orang dan blangko 1 orang. 
Jadi, impian dari sebagian besar anggota badan penyidik adalah menghendaki Indonesia Raya yang sesungguhnya dan mempersatukan semua kepulauan Indonesia yang pada Juli 1945 itu sebagian besar wilayah Indonesia kecuali Iran, Tarakan, dan Morotai yang masih dikuasai Jepang. Dalam rapat B PUPKI ke-2 itu pula diputuskan untuk membentuk panitia kecil yakni (1) Panitia perancang UUD yang diketuai oleh Ir. Soekarno, (2) Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai oleh Drs.  Mohammad Hatta, dan (3) Panitia tanah air yang diketuai oleh A bi Kusno Tjokrosoejoso. Pada 14 Juli 1945 Badan penyidik bersidang lagi dan panitia perancang UUD melaporkan hasil pertemuannya. Susunan UUD yang diusulkan terdiri dari 3 bagian yaitu: (1) Pernyataan Indonesia Merdeka, yang berupa dakwaan di muka dunia atas penjajahan Belanda, (2) Pembukaan yang di dalamnya terkandung dasar negara pancasila, (3) pasal-pasal dalam UUD.[9]

[9] Peringgodigdo, dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 109.

6) Persiapan Proklamasi Kemerdekaan 
Ketika Jepang menyerah kepada sekutu maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, ada perbedaan pandangan dalam pelaksanaan dan waktu proklamasi, perbedaan tersebut terjadi antara golongan pemuda, antara lain; Sukarni,  Adam Malik, Kusnaini Syahrir, Soedarsono, Soepono, dkk. Dalam hal itu, para pemuda tersebut lebih bersikap agresif yaitu menghendaki kemerdekaan secepat mungkin. Perbedaan tersebut memuncak dengan diamankannya Ir. Soekarno dan Drs. M ohammad Hatta ke Rengasdengklok agar tidak kena pengaruh dari Jepang setelah diadakan pertemuan di Penjambong Jakarta pada 14 Agustus 1945 dan diperoleh kepastian bahwa Jepang telah menyerah. Dengan demikian, dwitunggal Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta setuju untuk dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan, tetapi pelaksa naannya di Jakarta.
Dalam rangka persiapan Proklamasi tersebut, maka tengah malam 17 Agustus 1945  Soekarno-Hatta pergi ke rumah Laksamana Maeda di Orange Nassau Boulevard (Jl. Imam Bonjol No. 1). Di sana telah berkumpul B .M Diah Bakri, Sayuti Melik, I wa K usumasumantri, C haerul Saleh, dkk. Untuk menegaskan bahwa pemerintah Jepang tidak campur tangan tentang Proklamasi. Setelah diperoleh kepastian, maka  Soekarno-Hatta mengadakan pertemuan pada saat larut malam dengan Mr. Achmad Sebardjo,  Sukarni,  Chaerul Saleh, B.M. Diah, S ayuti Melik, Dr. B antaran, Mr.  Kusumasumantri dan beberapa anggota P PKI untuk  merumuskan redaksi naskah Proklamasi. Pada pertemuan tersebut, ternyata konsep   Soekarno-lah yang diterima dan diketik oleh  Sayuti Melik. Kemudian pagi harinya, pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur  56 Jakarta, tepat pada Jumat Legi, pukul 10.00 pagi Waktu Indonesia Barat (WIB) atau pukul 11.30 waktu Jepang, Bung Karno dengan didampingi Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi dengan khidmat dan diawali dengan teks pidato sebagai berikut:

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkatsingkatnya. 
Jakarta, 17 Agustus 1945


Atas  Nama Bangsa Indonesia  Soekarno-Hatta

7) Sidang  PPKI Pertama(18 Agustus 1945) 
Kemenangan sekutu dalam perang dunia ke-2 membawa hikmah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Menurut pengumuman Nanpoo Gun Indonesia (pemerintah Tentara Jepang untuk seluruh daerah selatan), pada 7 Agustus 1945 (Kan Poo No.72/2605 k.11) mendekati pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan, Indonesia ( PPKI) atau Dokuritu Zyunbi Linkai. Untuk keperluan membentuk Panitia itu pada 8 Agustus 1945, Ir.  Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta dan Dr. A djiman diberangkatkan ke Saigon atas panggilan Jendral Besar Terauchi, Saiko Sisikan untuk daerah Selatan (Nanpoo Gun), jadi penguasa tersebut juga meliputi kekuasaan wilayah Indonesia  Jenderal Terauchi pada 9 Agustus 1945, memberikan mandat kepada Ir. Soekarno untuk melakukan beberapa hal, antara lain: (1) Ir. Soekarno diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan, Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua dan  Radjiman sebagai anggota. (2) Panitia persiapan boleh mulai bekerja pada 9 Agustus 1945. Dan (3) Cepat atau tidaknya pekerjaan panitia diserahkan sepenuhnya kepada panitia. 
Sidang P PKI yang pertama dilaksanakan satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, yakni 18 Agustus 1945. Namun, 20 menit sebelum sidang dimulai, diadakan pertemuan yang membahas beberapa perubahan yang berkaitan dengan rancangan naskah Pembukaan UUD 1945 yang pada saat itu masih bernama “Piagam Jakarta”, terutama yang menyangkut perubahan sila pertama Pancasila. Dalam pertemuan tersebut, para pendiri bangsa bermusyawarah dan dengan keluhuran moralnya akhirnya mencapai suatu kesepakatan untuk menyempurnakan sebagaimana dalam naskah Pembukaan UUD 1945 yang ada saat ini.
Sidang P PKI pertama tersebut dihadiri oleh 27 orang dan menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain adalah mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 yang meliputi: (1) Setelah melakukan beberapa perubahan pada Piagam Jakarta yang kemudian berfungsi sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan (2) menetapkan rancangan hukum dasar yang telah diterima dari Badan Penyelidik pada 17 Juli 1945, setelah mengalami berbagai perubahan karena berkaitan dengan perubahan Piagam Jakarta, kemudian berfungsi sebagai Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan lain adalah memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, dan menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai badan musyawarah darurat. 
Pembentukan KNIP dalam masa transisi dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan nasional merupakan ketentuan dalam pasal IV Aturan Peralihan. KNIP itu beranggotakan semua anggota  PPKI ditambah pemimpin rakyat dari semua golongan, aliran dan lapisan masyarakat, yakni Pamong Praja, Alim Ulama’, kaum pergerak pemuda, pengusaha/ pedagang, cendekiawan, wartawan, dan golongan lainnya. KNIP tersebut dilantik pada 29 Agustus 1945 dan diketuai oleh Mr.  Kasman Singodimedjo.[10]

[10] Ismaun, dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 114. 

Pada 18 Agustus 1945, selain merupakan hari pengesahan naskah UUD 1945 sekaligus juga pembukaannya, di dalam  nya terdapat naskah Pancasila yang berisi lima butir, antara lain: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerak  yatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

8) Sidang  PPKI Kedua (19 Agustus 1945) 
Dalam sidang PPKI kedua ini terdapat beberapa ketetapan penting, antara lain: (a) Tentang daerah Propinsi, dengan pembagian sebagai berikut: 1) Jawa Barat 2) Jawa Tengah 3) Jawa Timur 4) Sumatera 5) Borneo 6) Sulawesi 7) Maluku 8) Sunda Kecil, (b) Untuk sementara waktu kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan seperti sekarang, dan (c) Untuk sementara waktu kedudukan kota dan Gemeente diteruskan sampai sekarang. 
Dalam sidang tersebut, juga terdapat beberapa keputusan penting, yakni dibentuknya Kementerian, atau Departemen yang meliputi 12 Departemen yang selengkapnya sebagai berikut :
  • Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
  • Departemen Luar Negeri (Deplu). 
  • Departemen Kehakiman.
  • Departemen Keuangan. 
  • Departemen Kemakmuran.
  • Departemen Kesehatan. 
  • Departemen Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Departemen Sosial. 
  • Departemen Pertahanan.
  • Departemen Penerangan. 
  • Departemen Hubungan. 
  • Departemen Pekerjaan Umum.[11]
[11]  Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Risalah Sidang”, 115

9) Sidang  PPKI Ketiga (20 Agustus 1945) 
Dalam sidang  PPKI ketiga terdapat pembahasan terhadap agenda tentang “Badan Penolong Keluarga Korban Perang”. Mengenai keputusan yang dihasilkan yaitu terdiri dari 8 pasal. Salah satu pasal yakni menyebutkan adanya pasal 2 menyebutkan adanya suatu badan yang disebut “Badan Keamanan Rakyat” (BKR).

10) Sidang  PPKI Keempat (22 Agustus 1945) 
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI) keempat terdapat beberapa agenda pembahasan tentang Komite Nasional Partai Nasional Indonesia yang pusatnya bekedudukan di Jakarta.

b. Pancasila Masa  Orde Lama

Pancasila di masa  Orde Lama dipahami berdasar paradigma yang berkembang pada situasi yang meliputi oleh tajamnya konfl ik ideologi. Pada saat itu, kondisi politik dan ekonomi dalam negeri diliputi oleh kekacauan (chaos). Demikian pula kondisi sosial-budaya yang terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa O rde Lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbedabeda pada masa  Orde Lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 19501959, dan periode 1959-1966. 
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu, ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan paham komunis oleh P KI melalui pemberontakan Madiun pada 1948 dan oleh D I/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar Islam. Pada periode tersebut, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahan di bumi Indonesia. Namun, setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, di mana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya, walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensial, namun dalam praktik kenegaraan sistem presidensial tak dapat diwujudkan. 
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal justru lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode itu persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu pada 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi, anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal tersebut menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante UUD 1950 dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideologi liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pernerintahan. 
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan kekuasaan rakyat sebagaimana berdasar nilai-nilai Pancasila. Tetapi, berada pada kekuasaan pribadi Presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya,   Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfortasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi N KRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. 
Dalam upaya memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 1945, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta P KI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideologi otoriter, konfrontatif, dan tidak memberi ruang pada demokrasi bagi rakyat. 
Walhasil, pada periode  Orde Lama itu, Pancasila dan UUD 1945 dijadikan sebagai instrumen trial and error sekaligus “pengujian sejarah” yang belum menemukan jati diri sebenarnya yang sesuai dengan semangat ke-Indonesiaan dan pluralisme yang monotheistik.

c. Pancasila Masa  Orde Baru 

Sejatinya, pemerintahan  Orde Baru berkehendak untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap Orde Lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kalau itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena internasiona1 seperti yang dilakukan oleh   Soekarno. 
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi, dan seimbang. S oeharto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa. 
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakankebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Kendati terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia Internasional, tetapi kondisi politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. 
Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran  HAM terjadi di mana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legitimator tindakan yang menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi.
Walhasil, Pancasila selama O rde Baru diarahkan menjadi ideologi yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan atas nama persatuan dan kesatuan, akhirnya hak-hak demokrasi dikekang.

d. Pancasila dan Reformasi 1998 

Pancasila lahir dari pluralitas keinginan masyarakat yang ingin memiliki tatanan sosial yang lebih menjamin kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang ditopang oleh keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam satu wadah bangsa dan negara Indonesia. Sedangkan gerakan reformasi Kamis, 21 0ktober 1998 lahir dari suatu kebutuhan dan kerinduan masyarakat akan suasana lahir batin yang lebih menjamin keadaan bangsa dan negara tertata kembali seperti cita ideal dan semangat awal pada saat Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. 
Secara terminologis, arti reformasi berasal dari kata reformation dengan akar kata reform yang artinya “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong”.[12] Secara harfi ah reformasi memili arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat, yakni Pancasila sebagai konsensus nasional. Oleh karena itu, suatu gerakan reformasi memilih kondisi syarat-syarat sebagai berikut: 

[12] Wibisono, dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 122.
  1. Gerakan reformasi muncul sebagai akibat diri adanya sebab yang terjadi dalam bangsa Indonesia selama sebelum era reformasi mengemuka. Berbagai sebab tersebut, bisa berupa distorsi kebijakan maupun hukum. Hal tersebut terjadi pada masa orde baru, di mana rezim pemerintahan dalam mengelola negara menggunakan pendekatan kekeluargaan sehingga semakin menguatkan pola-pola nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pancasila dan UUD 1945. 
  2. Gerakan reformasi harus dilakukan dengan semangat dan cita-cita yang (berlandasan ideologis) tertentu, yakni Pancasila sebagai ideologi, dasar, dan fi lsafat bangsa dan negara Indonesia.
  3. Gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD 1945) sebagai kerangka acuan reformasi.
  4. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspek kehi dupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yakni antara lain tatanan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan.
  5. Gerakan reformasi pada hakikatnya dilakukan dengan semangat mendekatkan diri ideal nilai-nilai Pancasila yang memiliki prinsip ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema nusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara praksis dan aplikatif, reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan ke arah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa  Orde Lama maupun  Orde Baru. Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
Dalam konteks kausalitas, gerakan reformasi terjadi sebagai akibat dari adanya sebab berupa implementasi GBHN 1998 pada Pembangunan jangka Panjang II Pelita ke-7 sehingga dampaknya justru bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah. Sistem politik dikembangkan ke arah sistem “Birokratik Otoritarian” dan suatu sistem “Korporatik”. Sistem itu ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan partisipasi di dalam pembuatan keputusan-keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok militer, kelompok cerdik cendikiawan dan kelompok pengusaha oligopolistik yang bekerjasama dengan masyarakat bisnis internasional. 
Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut ditandai dengan gerakan demontrasi massal di seluruh nusantara yang dilakukan oleh semua komponen bangsa, termasuk aktivis mahasiswa dan klimaksnya terjadi pendudukan gedung DPR RI, sehingga berakibat mundurnya Presiden  Soeharto pada Kamis, 21 Mei 1998, dan kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr.  Baharuddin Jusuf Habibie menggantikan kedudukan sebagai presiden, yang kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie itulah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama perubahan paket UU politik 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum. Yang lebih mendasar, reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui pemilu secepatnya. 
Dalam perjalanan sejarahnya, Orde Reformasi hampir sama dengan orde sebelumnya, yakni sebagai koreksi atas rezim pemerintahan sebelumnya: Artinya, seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap  Orde Lama, kini  Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih baik daripada masa Orde Baru. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan hukum. 
Dalam bidang sosial budaya, di satu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme. Benturan antar-suku, antar-umat beragama, antar-kelompok, dan antar-daerah terjadi di mana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan massa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan. Fakta empiris yang dihadapi saat ini adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit. Munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar falsafah negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri atas lima sila (sikap/prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/ suku bangsa, agama, dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika. 
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan di antara sesama warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik di beberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua dan Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa antar-sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia. 
Orde Reformasi yang baru berjalan 12 tahun lebih telah memiliki empat presiden. Namun, berbagai perkembangan fenomena kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, etnisitas masih jauh dan cita ideal nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang sesungguhnya. Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tetapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya  NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam  NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen, Indonesia saat ini tengah mengalami apa yang dikenal dengan “subversi asing”, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing. 
Di sisi lain, berbagai gerakan radikal atas nama agama makin mengemuka, seperti Jama’ah Islamiyah (JI) serta jaringan Al-Qaedah lainnya, Jama’ah Ahmadiyah dengan penodaan agama terhadap Islam dan terakhir yang kian marak saat ini adalah Negara Islam Indonesia (N II) yang korbannya bukan saja masyarakat tradisional yang sangat mudah dihegemoni, tetapi justru mahasiswa di berbagai perguruan tinggi pun menjadi basis jaringan yang diandalkan. Berbagai fenomena di atas, kiranya menjadi referensi utama untuk melakukan retrospeksi secara nasional seluruh komponen bangsa ini, tanpa terkecuali. Retrospeksi adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki keadaan bangsa ini ke depan. Baik-buruknya bangsa ke depan, adalah sangat bergantung pada kegigihan dan kesungguhan komitmen generasi saat ini untuk menemukan kembali jati diri bangsa melalui penanaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal itu bisa dilakukan dengan menjadikan Pendidikan Pancasila sebagai salah satu mata kuliah wajib di kampus agama dan umum, baik negeri maupun swasta.

e. Pancasila Pasca Reformasi Menuju Revitalisasi Partisipatif 

Pancasila merupakan wujud kontrak politik modern ala Indonesia yang bercirikan nilai-nilai Universal yang monotheistik dan berfungsi sebagai ideologi dan dasar serta tujuan final bangsa Indonesia yang selalu berkesesuaian dengan segala waktu dan generasi. Pancasila tidak ada pembandingnya di dunia ini. Tanpa Pancasila Indonesia tidak ada atau tidak akan eksis. Oleh karena itu, jika ada kekuatan yang melakukan penyimpangan secara sistematis dan mengarah pada perpecahan (disintegrasi bangsa) yang dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun, maka Pancasila merupakan solusi terakhir bagi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI).
Secara empiris, Pancasila telah teruji dari masa ke masa, dengan melewati berbagai orde, yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam perjalanannya ada berbagai macam cobaan dan tantangan yang senantiasa datang dan mengiringi dalam setiap gerak dan langkah dinamika bangsa ini.
Pancasila adalah ideologi yang tidak ada bandingannya untuk bangsa Indonesia karena Pancasila adalah alat permersatu bagi seluruh komponen yang berbeda-beda, sehingga setiap upaya untuk menggantinya selalu akan berhadapan dengan seluruh kekuatan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Pancasila adalah simbol Bhinneka Tunggal Ika, berbeda namun tetap satu jua. Pancasila pasca reformasi 1998 hingga saat ini dalam perkembangannya mulai dilupakan oleh negara dan masyarakat. Hal itu ditandai dengan banyaknya fenomena kasus di berbagai daerah yang jauh dari nilai-nilai Pancasila, baik dalam domain politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya maupun etnik, sehingga dapat berakibat pada instabilitas dan disintegrasi bangsa yang mengutamakan  NKRI.
Padahal, upaya dalam rangka mencari ideologi yang sesuai untuk bangsa Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pancasila tidak secara mudah dilahirkan namun lahirnya Pancasila telah melewati perdebatan panjang dan tidak jarang diwarnai dengan pertikaian sengit (beradu argumentasi) mengenai dasar apa yang cocok untuk Negara Indonesia yang mempunyai karakter majemuk (plural). Dicetuskannya Pancasila berangkat dari sebuah pertimbangan bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang menjadi konsensus nasional yang bisa diterima oleh semua golongan yang ada di Indonesia.
Dengan lima sila yang tercantum dalam Pancasila menunjukkan bahwa Pancasila telah mengutamakan kepentingan bersama mengingat bangsa Indonesia yang majemuk. Globalisasi merupakan satu konsekuensi logis sebagai bangsa yang memiliki keharusan berinteraksi dengan dunia luar. Menguatnya politik identitas pada tahun-tahun terakhir ini memberikan penyadaran bahwa kelangsungan hidup bangsa Indonesia bisa terancam sewaktu-waktu. Menguatnya praktik intimidasi, kekerasan dan konfl ik dalam berbagai domain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bisa menjadi bom waktu kehancuran NKRI. Jika praktik-praktik tersebut tidak segera dihentikan, maka rakyat akan menderita dan keutuhan bangsa ini akan terancam.
Merevitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah sebuah keniscayaan mutlak ketika kondisi bangsa semakin jauh dari keadilan sosial, kemakmuran, kemajuan, dan lain sebagainya. Membiarkan kondisi bangsa dalam keterpurukan sama halnya menjadikan Pancasila hanya sebagai alat politisasi untuk melanggengkan kekuasaan seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Sejarah telah mencatat dan semua komponen bangsa tidak memungkirinya, bahwa pada periode  Orde Baru, Pancasila selalu dijadikan alat legitimasi serta dipolitisasi untuk meraih serta mempertahankan kekuasaan. Mereka yang berseberangan dengan pemerintah akan dengan mudah diberi label anti Pancasila dan dengan mudah pula mereka divonis sebagai tindakan subversif sehingga akan masuk penjara tanpa proses hukum yang jelas.
Revitalisasi tentu suatu upaya sistematis dalam rangka kembali membangun spirit nasionalisme yang selama ini telah mengalami kemunduran sehingga seluruh persoalan kebangsaan seperti konfl ik politik, hukum, ekonomi, agama, etnis serta permasalahan dalam apa pun bentuknya bisa dengan mudah teratasi. Itu menjadi agenda penting yang harus secepatnya dilakukan ketika semangat persatuan menjadi barang langka di negeri ini.
Pada sisi lain, revitalisasi juga merupakan bentuk penyadaran bagi masyarakat bahwa hidup di Indonesia harus memiliki kesiapan lahir batin, baik mental maupun spiritual untuk saling menghargai perbedaan, menghormati keragaman suku, agama, ras, dan antar-golongan yang satu dengan lainnya memiliki kepentingan yang tentunya berbeda namun dalam satu wadah yakni Indonesia. Dalam konteks ini, maka membangun komitmen revitalisasi nilai-nilai Pancasila merupakan suatu kebutuhan utama saat ini.
Revitalisasi adalah upaya mengembalikan kepada asal nilai pentingnya segala sesuatu. Sedangkan nilai-nilai Pancasila adalah segala bentuk norma, aturan serta nilai yang diserap dari berbagai adat-istiadat dan budaya yang berakar dari kemajemukan seluruh komponen bangsa Indonesia. Artinya nilai-nilai Pancasila merupakan intisari dari pola pikir (mind sett), pola sikap dan pola tindakan dari setiap individu bangsa Indonesia yang identik dengan keberbedaan suku, agama, ras, antara golongan (SARA), wilayah, bahasa dan adat-istiadat.
Hakikat revitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah usaha bersama seluruh komponen bangsa Indonesia untuk mengembalikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai konsensus sekaligus identitas nasional yang selama ini mengatasi berbagai penyimpangan kepada asal-muasal kemunculannya untuk dijadikan kembali sebagai instrumen ketauhidan, dasar dan ideologi, alat pemersatu, pedoman sekaligus tujuan, orientasi dan alat ukur serta evaluator kebijakan, pola interaksi simbiosismutualis dengan bangsa lain serta sebagai ruh dan semangat kebersamaan dari setiap individu bangsa Indonesia tanpa terkecuali sehingga sesuai dengan cita ideal para pendiri bangsa (founding fathers).
Oleh karena itu, untuk membangun kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus ada komitmen partisipasi semua komponen bangsa tanpa terkecuali baik negara dan pemerintahan (eksekutif), legislatif (DPR dan DPD), maupun yudikatif (Polri, Kejaksaan, Pengadilan, MA, MK, KY, KPK, dan lain sebagainya).
Tanpa komitmen partisipasi seluruh elemen bangsa, mustahil berbagai agenda utama reformasi bisa terwujud sesuai semangat dan cita ideal awalnya. Komitmen itu harus ditopang oleh menguatnya kesadaran kolektif dan ketauladanan struktural dan kultural bangsa ini yang dimulai dari hulu hingga hilir.

1. Filsafat Pancasila 

Filsafat Pancasila adalah refl eksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertian secara mendasar dan menyeluruh:

a. Dasar Ontologi Pancasila 
Dasar ontologi Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia. Hal itu dapat dijelaskan bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakikatnya adalah manusia.[13]

[13] Kaelan, dalam Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi Pendidikan Pancasila Sebagai Pemandu Reformasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 250

Selanjutnya Pancasila sebagai dasar fi lsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan, serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Disamping itu, kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri, sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya, segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia yang monodualis tersebut.
Kemudian, seluruh nilai-nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal itu berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila. Seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas/ kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum, moral negara, serta segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.

b. Dasar Epistimologi Pancasila 
Kajian epistemologi fi lsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal itu dimungkinkan karena epistemologi merupakan bidang fi lsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistomologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. 
Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek kajian pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Adapun tentang sumber pengetahuan Pancasila sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia itu sendiri. 
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu: (1) Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit. (2) Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. Dan (3) Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khusus konkrit serta dinamis. 
Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila itu bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal yaitu: (1) Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya, (2) Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, (3) Sila ketiga, didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima, (4) Sila keempat, didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima, dan (5) Sila kelima, didasari oleh sila pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima.

c. Dasar Aksiologi Pancasila 
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu penge tahuan tentang pancasila. Aksiologi Pancasila berarti membahas tentang fi lsafat nilai Pancasila. Dalam fi lsafat Pancasila, ada 3 tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis. Nilai dasar yaitu asas-asas yang mutlak kebenarannya. Nilai-nilai dasar itu berupa nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Nilai instrumental, yaitu nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga Negara. Nilai praksis, yaitu nilai yang harus dilaksanakan. Nilai ini untuk menguji apakah nilai dasar dan nilai instrumental hidup dalam masyarakat. 
Secara aksiologis, bangsa Indonesia adalah pendukung nilai-nilai Pancasila. Bangsa Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan harus mengakui, menghargai, dan menerima Pancasila yang menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia.

d. Perbandingan Idiologi Pancasila dengan Idiologi Negara Lain di Dunia 
Pancasila sebagai ideologi merupakan ideologi terbuka yaitu ideologi yang tidak dimutlakkan, berbeda dengan idologi lain yang lebih bersifat tertutup. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat, bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan kesepakatan masyarakat.
  2. Tidak diciptakan oleh negara, tetapi ditemukan sendiri oleh masyarakat, dan menjadi milik masyarakat.
  3. Isinya tidak langsung operasional, sehingga setiap generasi dapat menggali kembali falsafah itu dan mencari implikasinya dalam ranah kekinian.
  4. Tidak membatasi kebebasan dan tanggung jawab masya rakat, tetapi menginspirasi masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap falsafah itu.
  5. Menghargai pluralitas, sehingga dapat diterima warga masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama.
Sedangkan ideologi lain yang bersifat tertutup, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Ideologi itu merupakan cita-cita sebuah kelompok yang digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat.
  2. Ideologi itu akan dipaksakan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat.
  3. Bersifat totaliter, artinya mencakup semua bidang kehidupan.
  4. Tidak menghormati hak asasi manusia dan tidak menghargai pluralisme.
  5. Menuntut masyarakat untuk memiliki kesetiaan total terhadap ideologi itu. 
  6. Isi ideologi berupa tuntutan-tuntutan kongkrit dan operasi onal yang keras, mutlak, dan total.[14] 
[14] Bambang Suteng, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA kelas XII (Jakarta: Erlangga, 2006), 15-16.

e. Revitalisasi dan Internalisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara 
Revitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah usaha bersama komponen bangsa Indonesia untuk mengembalikan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai konsensus sekaligus sebagai identitas nasional yang selama ini mengalami berbagai penyimpangan. Revitalisasi merupakan bentuk penyadaran bagi masyarakat bahwa hidup di Indonesia harus memiliki kesiapan lahir dan batin, mental dan spiritual untuk menghargai perbedaan, menghormati keragaman suku, agama, ras, dan golongan yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda, tetapi dalam satu wadah yaitu Indonesia. Oleh karena itu, beragam gerakan radikalisme dan anarkisme dengan mengatasnamakan agama harus segera dituntaskan. Nilai-nilai Pancasila harus benar-benar terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Secara rinci, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu adalah:

1. Nilai ketuhanan 
Di dalam nilai ketuhanan, terkandung butir nilai berupa:
  • Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menu  rut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. 
  • Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. 
  • Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. 
  • Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.

2. Nilai kemanusiaan 
Butir-butir nilai yang terkandung di dalam sila kedua adalah:
  • Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  • Saling mencintai sesama manusia. 
  • Mengembangkan sikap tenggang rasa.
  • Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  • Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. 
  • Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  • Berani membela kebenaran dan keadilan. 
  • Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

3. Nilai persatuan 
Butir-butir nilai yang terkandung dalam sila ketiga adalah:
  • Menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Rela berkorban demi bangsa dan negara.
  • Cinta akan tanah air. 
  • Berbangga sebagai bagian dari Indonesia. 
  • Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

4. Nilai kerakyatan 
Butir-butir nilai yang terkandung dalam sila keempat adalah:
  • Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  • Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
  • Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
  • Berembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsen sus atau kata mufakat yang diliputi dengan sema ngat kekeluargaan.

5. Nilai Keadilan 
Butir-butir yang terkandung dalam sila kelima adalah:
  • Bersikap adil terhadap sesama. 
  • Menghormati hak-hak orang lain.
  • Menolong sesama. 
  • Menghargai orang lain. 
  • Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama

Dalam mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai, Pancasila menjadi nilai dasar bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangan, misalnya ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan pemerintah pengganti Undangundang, keputusan presiden, peraturan presiden, dan lain sebagainya.
Upaya lain untuk mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai bagi pembentukan norma etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal itu, Pancasila menjadi sumber etik dalam berbagai hal, misalnya:

a. Etika Sosial dan Budaya 
Menurut Kaelan[15] etika sosial dan budaya ini dimaksudkan agar segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum dalam hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara senantiasa diukur berdasar filosofi  manusia sebagai makhluk sosial.

[15]  Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Merevitalisasi, 322.

b. Etika Pemerintahan dan politik 
Etika pemerintahan dan politik ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good governance) sertta mampu menumbuhkan suasana politik yang demokratis, bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar kendati berasal dari orang per-orang atau kelompok minoritas dan marginal serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
c. Etika Ekonomi dan Bisnis 
Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang baik dengan bercirikan prinsip-prinsip antara lain, memberikan kebebasan berusaha, membangun iklim usaha kerakyatan yang berdaya saing secara sehat, mengutamakan kejujuran, memenuhi rasa keadilan, transparansi, akuntabilitas publik dan mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi yang berdaya saing global serta mampu memberdayakan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan.
d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan 
Etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa tertib sosial, ketenangan, ketentraman, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada.
e. Etika Keilmuan 
Etika keilmuan ini diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis, dan obyektif. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila terutama sila pertama.

Pendidikan Kewarganegaraan 

Gerakan reformasi pasca runtuhnya pemerintahan  Orde Baru menyuarakan demokratisasi politik dan penegakan hak azasi manusia (H AM). Bagian kecil dari gerakan itu di antaranya adalah keinginan untuk menciptakan model baru pendidikan demokrasi yang berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan versi pemerintahan  Orde Baru. Beberapa model Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi pada zaman tersebut dikemas dalam mata kuliah Pancasila, Kewiraan dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Praktik pembelajaran mata kuliah tersebut dipandang banyak kalangan kurang cocok dengan semangat reformasi dan demokratisasi pada masa kini.
Para ahli mengemukakan beberapa kelemahan praktik perkuliahan mata kuliah Pancasila dan Kewiraan, antara lain: (1) pola dan praktik pembelajaran yang indoktrinasi dan monolitik, (2) muatan materi ajarnya syarat dengan kepentingan subjektif rezim penguasa pada saat itu, (3) mengabaikan dimensi afektif dan psikomotorik sebagai bagian integral hasil pembelajaran berupa internalisasi nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi dan patriotisme. Perkuliahan lebih banyak diarahkan pada pembentukan aspek kognitif, kurang mengarah pada terbentuknya karakter kebangsaan peserta didik berupa aktualisasi nilai demokrasi,  HAM dan pembentukan masyarakat madani (civil society).[16]

[16] A. Ubaedillah dan Abul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi,  HAM dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarief Hidayatullah, 2013), 3.

Revitalisasi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi sesuai dengan semangat reformasi yang selanjutnya dituangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional. Pada BAB X Pasal 37 dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa.
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi warga negara yang memiliki nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air. Rasa bangga sebagai warga negara Indonesia tidak cukup hanya direfl eksikan dalam bentuk upacara pengibaran bendera, tetapi harus direfl eksikan dalam bentuk tindakan yang memberi konstribusi terhadap penciptaan bangsa dan negara Indonesia menjadi lebih baik.

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan 

Pendidikan Kewarganegaran bukan hal baru dalam sejarah pendidikan nasional Indonesia. Beberapa model pendidikan kewarganegaraan diwujudkan dalam bentuk mata pelajaran civic (sejak 1957-1962), Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) (sejak 1968-1969, Civic dan Hukum (1973), Pendidikan Moral Pancasila (PMP) (sejak 1975-1984), PPKn (1994). Di tingkat pendidikan tinggi terdapat mata kuliah Pancasila dan UUD 1945, Filsafat Pancasila, dan Pendidikan Kewiraan. Sesuai amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan mengacu pada edaran Dirjen Dikti No. 267/Dikti/Kep./2000 tentang penyempurnaan mata kuliah pengembangan kepribadian.
Pendidikan kewarganegaraan adalah proses pendidikan yang mengarahkan peserta didik menjadi warga negara yang baik sehingga mampu hidup bersama-sama dalam masyarakat baik sebagai anggota keluarga masyarakat maupun sebagai warga negara. Menurut M uhammad Numan Somantri, menyatakan bahwa civics adalah ilmu kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan: (1) manusia dalam perkumpulanperkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, politik), (2) individu-individu dengan Negara.[17] 
Azyumardi Azra mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan demokrasi dan pendidikan  HAM karena mencakup kajian dan pembahasan tentang banyak hal seperti pemerintahan, konstitusi, lembagalembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang  HAM, kewarganegaraan aktif, dan sebagainnya.[18]
Margaret Stimmann Branso dan  Charles N. Quigley menyebutkan “Civic Education in a democracy  is education  in self government”.[19] Menurut  Henry Randal Waite dalam buku Civic Education, beliau menulis dalam majalah The Citizen and Civics yakni pengertian civics sebagai “the science of citizenship the relation of man, the individual, toman in organized colections, the individual in his relation to the state”.[20] Pandangan lain tentang Pendidikan Kewarganegaraan adalah  program  pendidikan yang berdasar nilai-nilai Pancasila  sebagai  wahana  untuk mengembangkan  dan  melestarikan  nilai  luhur  dan moral, yang  berakar  pada  budaya  bangsa  sehingga diharapkan  men  jadi  jati  diri  yang diwujudkan  melalui  bentuk  prilaku  dalam kehidupan  sehari-hari. 
Berdasar beberapa pengertian tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang menanamkan sikap demokratis, memiliki sikap sadar terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara dan menjunjung tinggi nilai-nilai  HAM yang selanjutnya direfl eksikan dalam bentuk kebiasan berbuat sehingga terwujudlah masyarakat madani.

[17]  Ibid., 13. 
[18]  Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999). 
[19] Margaret Stimmann Branso dan  Charles N. Quigley, The Rule of Civic Education, (t.k.: t.p, 1998) 
[20] Henry Randal Waite dalam Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan) (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 6. 

1. Tujuan  Pendidikan Kewarganegaraan 
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB III tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 3 menyatakan bahwa, tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut  Teguh Wangsa Gandhi HW, tujuan pendidikan erat kaitannya dengan sistem nilai dan norma-norma dalam konteks kebudayaan. Pertama, pendidikan haruslah bersifat otonomi, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang baik. Kedua, pendidikan haruslah bersifat equity (adil), memberi kesempatan seluruh warga masyarakat ekonomi dengan memberinya pendidikan yang sama. Ketiga, survival, artinya dengan pendidikan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.[21]

[21]   Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 68. 

Dalam konteks pendidikan nasional, Pendidikan Kewarganegaraan dapat dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan pen didikan nasional, yaitu “pendidikan nasional berfungsi mengem bangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[22]. Sesuai Undang-undang tersebut, pendidikan kewarganegaraan seharusnya berfungsi sebagai intrumen pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Pendidikan Kewarganegaraan juga menunjang ketercapaian tujuan pendidikan nasional, yakni menjadikan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tidak jauh berbeda dengan tujuan pendidikan yang ditelah dipaparkan di sebelumnya, tujuan pendidikan kewarganegaraan untuk membangun karakter (characther building) bangsa Indonesia yang antara lain: (1) membangun kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (2) menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan integritas bangsa, dan (3) mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadilan, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi, dan tanggung jawab.[23]

[22] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 3. 
[23] Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 18.

2. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan 
Dilihat dari sejarahnya, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) berkembang pada negara-negara yang bersistem demokrasi. Pendidikan kewargannegaraan adalah salah satu cara penanaman nilai-nilai demokrasi dalam bidang pendidikan. Maka paradigma pendidikan kewarganegaraan tidak lain adalah paradigma demokrasi itu sendiri. Dalam buku pendidikan kewarganegaraan (civic education) Pancasila, demokrasi,  HAM, dan masyarakat madani, tujuan dari paradigma demokrasi sebagai upaya pembelajaran agar mahasiswa tidak hanya mengetahui sesuatu (learning to know) melainkan belajar untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab sebagai individu dan makhluk sosial (learning to be) serta belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari pengetahuan yang dimilikinya. Melalui pola pembelajaran tersebut diharapkan mahasiswa dapat dan siap untuk belajar hidup bersama (learning to live together) dalam kemajemukan bangsa Indonesia dan warga negara karena kewarganegaraan manusia sebagai makhluk sosial.[24] Hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan UNESCO yakni learning how to know, learning how to be, learning to do dan learning to live together.

[24] Ibid., 20.

3. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan 
Seperti pada awal penjelasan, bahwa dalam era globalisasi saat ini, mau tidak mau kita harus mengikuti sistem demokrasi yang berkembang di belahan dunia Barat agar kita tidak ketinggalan dalam segala segi kehidupan. Namun, kita tidak boleh lupa akan nilai-nilai luhur dan karakter bangsa yang termaktub dalam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Imbasnya bangsa kita mengalami krisis multi deminsional, mulai aspek kehidupan bernegara, beragama, ekonomi, dan sebagainya, seperti pengaruh globalisasi yang semakin meluas dengan persaingan antar bangsa yang semakin tajam, makin meluasanya intesitas intervesi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional yang merupakan faktor dari luar.[25] 
Namun, kita juga mengalami kelemahan dalam kehidupan bernegara kita sendiri seperti: masih lemahnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, serta tidak harmonisnya pola interaksi antar umat beragama, sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di pusat dan pengabaian terhadap pembangunan dan kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme kedaerahan, tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinenekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa dan lain sebagainya.[26] Dan demi menjaga character building negara kita yang termaktub dalam empat pilar berbangsa dan bernegara, salah satunya melalui proses pendidikan. Kita dapat menggunakan pendidikan dikarenakan dunia pendidikan merupakan media yang paling sistematis dan efektif untuk memperkuat character building.[27] Salah satunya melalui pendidikan kewarganegaraan adalah jawabannya. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat 2, dinyatakan bahwa disetiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokok Pendidikan Kewarganegaraan adalah tentang hubungan antar warga-negara dan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).

[25] Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), 15. 
[26] Ibid., 14. 
[27] Ngainun Naim, Character Building (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 18.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rangkuman 

  1. Rumusan Pancasila mengalami pergeseran dari masa ke masa, tetapi rumusan Pancasila yang telah ditetapkan sebagai dasar negara adalah sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. 
  2. Pancasila merupakan ideologi terbuka yang berakar dari masyarakat, sehingga memiliki ciri yang berbeda dengan ideologi tertutup.
  3. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, harus terinternalisasi dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  4. Pendidikan kewarganegaraan adalah proses pendidikan yang mengarahkan peserta didik menjadi waga negara yang baik sehingga mampu hidup bersama-sama dalam masyarakat baik sebagai anggota keluarga masyarakat maupun sebagai warga negara.
  5. Pendidikan kewarganegaraan dapat dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu berfungsi membentuk warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab serta terbentuknya peradaban bangsa yang bermartabat.

Latihan 

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini! 
  1. Jelaskan esensi penting Pancasila menurut pemikiran beberapa tokoh nasional dan jelaskan perbedaannya!  
  2. Berikan uraian secara singkat tentang sejarah perkembangan Pancasila! 
  3. Berikan penjelasan tentang perbedaan ideologi Pancasila dengan ideologi beberapa negara lain di dunia! 
  4. Bagaimana pendapat Saudara tentang munculnya berbagai kelompok ekstrim yang mengatasnamakan agama dan bagaimana solusinya? 
  5. Jelaskan pengertian pendidikan kewarganegaraan!
  6. Apa tujuan dan pentingnya pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi? Jelaskan! 

Lembar Kegiatan I 

Eksplorasi pemahaman mahasiswa melalui metode reading guide terhadap konsep dasar Pancasila dan Kewarganegaraan, sejarah Pancasila, membandingkan ideologi Pancasila dengan ideologi negara lain yang ada di dunia secara berkelompok.
Tujuan 
Mahasiswa memiliki sikap sadar diri sebagai warga negara melalui pemahaman konsep Pancasila dan Kewarganegaraan.
Bahan dan Alat Perkuliahan 
Laptop, LCD, Kertas Plano, Kliping Koran 
Langkah Kegiatan Tugas Baca 
  1. Baca dengan cermat dan tuntas, materi yang telah dibagikan kepada masing-masing kelompok sesuai tugas kelompok masing-masing!
  2. Diskusikan hasil bacaan Saudara dengan teman sekelompok!
  3. Salah satu wakil kelompok yang telah disepakati mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas secara bergiliran dan kelompok lain menanggapi. 
  • Kelompok I     :  Konsep Dasar dan Sejarah Pancasila 
  • Kelompok II : Membandingkan idiologi Pancasila dengan ideologi beberapa negara lain di dunia. 
  • Kelompok III   :  Sejarah Pancasila 
  • Kelompok IV   :  Konsep dasar dan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan. 

Lembar Kegiatan II 

Kegiatan tugas observasi dan telaah kritis terhadap peristiwa penting yang terjadi di masyarakat dan kaitannya dengan “Revitalisasi Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.” 
  1. Lakukan observasi terhadap kasus dan peristiwa yang terjadi di masyarakat secara langsung atau melalui kliping media cetak yang ada kaitannya dengan “Revitalisasi Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan” bagi mahasiswa! 
  2. Deskripsikan peristiwa tersebut dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara! 
  3. Deskripsikan telaah kritis Saudara terhadap peristiwa tersebut dan solusi berkaitan dengan “Revitalisasi Pan casila dan Pendidikan Kewarganegaraan!” 
  4. Tuangkan dalam bentuk laporan hasil observasi dan telaah kritis tersebut! 
  5. Buatlah resume dalam bentuk power point dan presentasikan hasil observasi Saudara di depan kelas secara bergantian dengan kelompok lain!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN [Buku Perkuliahan Program S-1 IAIN Sunan Ampel Surabaya Rumpun Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)]

Semoga Bermanfaat Salam: Moh. Arif Andrian

No comments