PERAN PANCASILA DAN AGAMA DALAM MEMBANGUN NEGARA YANG DEMOKRATIS

Share:

Pengantar 

Perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar terutama berkaitan dengan gerakan reformasi, serta perubahan Undang-undang termasuk amandemen UUD 1945 serta Tap MPR NO.XVIII/MPR/1998, yang menetapkan mengembalikan kedudukan Pancasila pada kedudukan semula, sebagai dasar filsafat negara. Hal itu mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami krisis ideologi. Selain itu, pengaruh globalisasi pada zaman sekarang mengakibatkan pudarnya nilai-nilai murni Pancasila dari masingmasing individu. Maka dari itu, pendidikan Pancasila sangat diperlukan untuk membentuk karakter yang sesuai dengan nilai dasar Pancasila. Untuk mengurangi sikap radikal di era reformasi ini, maka sangat diperlukan pendidikan Pancasila di berbagai jenjang studi.




Hubungan Negara dan Agama 

Indonesia adalah negara yang kaya dengan nilai luhur. Banyak nilai luhur dari berbagai budaya yang ada di Indonesia yang dikristalisasi menjadi satu kesatuan nilai, yaitu pancasila. Pancasila sendiri merupakan dasar negara, ideologi, pandangan dan falsafah hidup yang harus dipegang bangsa Indonesia dalam proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Nilainilai luhur yang terkandung di dalamnya merupakan nilai yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh waktu. Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti sendi, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian, Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku yang penting dan baik (Mohammad Yamin). Pancasila adalah dasar falsafah Indonesia. Berdasar pengertian itu, dapat disimpulkan bahwa Pancasila pada hakikatnya merupakan dasar falsafah dan ideologi negara yang diharapkan menjadi pendangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara. 
Semua energi kaum Islamis dan Nasionalis pada akhirnya hanya berkutat payah dan letih hingga berbusa pada debat material Dasar Negara daripada bagaimana menjalankan dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Mengapa bisa seperti ini keadaannya dan bagimana seharusnya umat Islam dan umat agama lainnya menyikapi krisis kebangsaan dan kenegaraan kita? Bagaimana dengan Pancasila? 
Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara  NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof. Mr.  R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. 
Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status di bawahnya (dzimmi). Ada ketidakadilan yang signifi kan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan di atas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan  NKRI. 
Keberatan lainnya adalah fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (syari’at) Islam. Bila direfl eksikan pada kondisi sekarang, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara.  
Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik syariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu syariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin dalam satu bangsa dan negara. 
Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila di sini bisa menjadi kalimat al sawaa’ untuk semua golongan. Hal itulah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama dalam rekap laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957. 
Nilai dan falsafah Pancasila bagi dasar negara Indonesia tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Suatu dasar negara yang memuat semua hal yang merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama dan beribadat dan berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas. 
Gerakan Pembaruan Jamaluddin al-Afghani (1897) yang menekankan solidaritas Pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasi dari Timur Tengah.[28] Hal itulah yang memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Kebangkitan Islam membentuk organisasiorganisasi sosial keagamaan, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909), Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911),  Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920), Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bukit Tinggi, Persatuan Muslimin Indonesia (P ermi) di Padang Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dari Organisasi Pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia ( PII) pada 1938.[29] 
Nasionalisme dalam pengertian politik muncul setelah H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan  SDI (Sarekat Dagang Islam) pada Mei 1912 kepada H OS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi dari S DI menjadi SI (Sarekat Islam) untuk memperluas ruang geraknya.[30] 
Pada awalnya, SI ingin memperjuangkan pemerintahan sendiri bagi penduduk Indonesia, bebas dari pemerintah Belanda. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, di kalangan tokoh-tokoh organisasi pergerakan mulai terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dan program. Puncak perbedaan itu ada dalam SI itu sendiri, yang memunculkan kekuatan baru dengan ideologi komunisme, pemisahan apa yang kemudian dikenal dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari SI. Itu terjadi secara besar-besaran pada 1923. 
Banyak kalangan pergerakan yang kecewa terhadap perpecahan itu. Kekecewaan itu memang beralasan, karena untuk mencapai tujuan kemerdekaan, persatuan sangat dibutuhkan. Akan tetapi, reaksi yang muncul bukan usaha mempersatukan dua kekuatan yang bertikai, justru kemudian mendirikan kekuatan politik baru yang bebas dari komunisme dan Islam, di antaranya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927. 
Dengan demikian, terdapat tiga kekuatan politik yang mencerminkan tiga aliran ideologi: Islam, Komunisme, dan Nasionalis sekuler. Ketiga aliran tersebut terlibat konflik ideologis yang cukup keras. Namun, PKI hanya terlibat dalam waktu yang sangat singkat, karena pemberontakannya di Jawa Barat (1926) dan Sumatra Barat (1927) menyebabkan pemerintah Belanda menyatakan sebagai partai terlarang, dan mengasingkan tokohtokohnya ke Digul.[31]

[28]  Asyari, dkk, Pengantar Studi Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, t.t), 286.
[29]  Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), 24. 
[30]  Amelz (ed.), HOS. Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), 94.
[31] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafi ndo Persada, 1996), 206. 

Islam dan Pancasila 

Sejarah Indonesia pada awalnya merupakan kumpulan kerajaan yang berbasis agama dan suku. Pancasila yang diperjuangkan merupakan suatu pengikat dari agama dan suku tersebut untuk tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku. 
Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam menjadi perdebatan yang intensif di kalangan pakar Muslim hingga kini. Ketegangan perdebatan tentang hubungan negara dan agama dalam Islam disulut hubungan agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (daulah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan daulah dengan konsep dan kultur politik masyarakat Muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah negara dunia, penyelarasan din dan daulah di banyak negeri Muslim telah berkembang secara beragam.[32] 

[32]  Azyumardi Azra, Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi di Dunia Muslim (Makalah Seminar Nasional Civic Education di Mataram, 2002).

Sebagian kecil kaum Muslim, yang memandang bahwa perubahan Pancasila dari Piagam Jakarta dengan eksklusivitas Islamnya, menjadi seperti yang ada sekarang, secara khusus, sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia. Padahal tidak demikian,  justru  Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud kemenangan kaum Muslim di Indonesia. Islam menghendaki para pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan lil ‘alamin), dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistem yang menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan bangsa ialah sistem yang  telah kita sepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. 
Kaum Muslim Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila (dan UUD 1945) karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada dua pertimbangan, yakni: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.  
Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia, sekalipun tidak dapat disamakan, sebenarnya dapat dianalogkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah/Mitsaq al-Madinah) pada masa- masa awal setelah hijrah N abi Muhammad Saw. Jadi, segera setelah Nabi Muhammad Saw tiba di Yastrib (Madinah) pada 622 Masehi, beliau membuat perjanjian antara orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Anshar (penduduk Muslim Madinah) dan orang Yahudi. Perjanjian itulah yang disebut sebagai Piagam Madinah. 
Pancasila melalui slogan Bhinneka Tuggal Ika (berbedabeda tetapi tetap satu jua), mengandung makna bahwa meski masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya, tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common plat form) yakni Pancasila. Secara serupa, Piagam Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah di bawah pimpinan Nabi Saw. dengan berbagai kelompok non-Muslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.
Di dalam Piagam Madinah, salah satunya, dinyatakan tentang hak kewarganegaraan dan partisipiasi kaum non-Muslim di kota Madinah yang dipimpin Nabi Saw. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku juga diangkat statusnya oleh Piagam itu menjadi warga negara yang sah. Jadi, dengan Piagam itu, Nabi ingin memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah satu bangsa atau ummatan wahidan dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Memang, setelah terjadinya peristiwaperistiwa pengkhianatan Yahudi tersebut, resminya Piagam Madinah itu sudah tidak berlaku lagi, namun prinsip-prinsipnya sebenarnya tetap sah dan diikuti ditempat lain. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ketika orang-orang Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke daerah-daerah luar Arabia, dan mendapat kan masyarakat yang plural/majemuk, maka yang pertama kali mereka lakukan adalah mengatur hubungan antar kelompok itu dengan mencontoh praktek dan kebijaksanaan Nabi sewaktu di Madinah dahulu.[33]

[33] http://www.sitinjaunews.com/kabupaten-pasaman-barat/26105-pancasila-mengandung-nilai-nilai-agama-islam 

Kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah Saw. Oleh karena itu, sosok pemimpin yang disyariatkan adalah pemimpin yang beriman sehingga hukum-hukum Allah Swt. dapat ditegakkan dan diterapkan. Hukum-hukum Allah harus ditegakkan agar keadilan dan kebenaran dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan terdzalimi baik dari kalangan muslim maupun non muslim, karena pada hakikatnya Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. 
Sejarah penafsiran Pancasila oleh berbagai kalangan, diusulkan untuk ditelaah kembali oleh berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan zaman telah berubah dan generasi datang silih berganti. Dan agar bisa dibuka kembali lembaran baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Betapa pun, sejarah adalah pelajaran bagi generasi berikutnya. Untuk memahami Pancasila, di masa reformasi ini, ada baiknya menengok sebuah peristiwa penting yang pernah terjadi di ujung timur Jawa Timur. Ketika itu diadakan Musyawarah Nasioanal (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabi’ul Awwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam, yaitu: 
  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
  2. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi  NU, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalan syariat agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas,  NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. [34] 

[34] Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri “Pancasila Kembali” dalam As’ad Said Ali, Negara Pancaila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LPE3S, 2009).

Pancasila sebagai dasar negara merupakan keputusan fi nal dan sudah menjadi pegangan seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, Pancasila yang menjadi pegangan hidup sejalan dengan agama Islam sehingga tidak menimbulkan perbedaan di tengah-tengah masyarakat.
Para tokoh agama seharusnya memahami agama dengan melihat kondisi objektif bangsa Indonesia yang majemuk sehingga pemahaman keagamaan lebih bersifat moderat tanpa mengorbankan ajaran dasar agama. Pemahaman yang moderat akan menghasilkan ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salam), dan toleransi (tasamuh) dalam hubungan antar manusia serta tidak melakukan politisasi agama untuk kepentingan masing-masing. 
Kalau kita mau mendalami nilai-nilai yang terdapat dalam lima butir Pancasila kesemuanya tidak ada yang keluar dari dasar Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa terdapat dalam Q.S Al-Ikhlas ayat 1 yang artinya “Katakan Muhammad bahwa Allah itu Esa”. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab terdapat dalam Q.S Ar-Rahman ayat 8 yang artinya “Tegakkanlah timbangan dengan keadilan dan jangan sekali-kali kamu berlaku curang dalam timbangan.” 
Sila Persatuan Indonesia terdapat dalam Q.S Ali-Imran ayat 103 yang artinya, “Berpegang teguhlah kamu dengan agama Allah dan jangan kamu berpecah belah.” Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan dan perwakilan terdapat dalam Q.S An-Nahl ayat 125 yang artinya, “Ajaklah atau dakwahilah mereka itu kepada agama Tuhanmu dengan penuh hikmah dan pengajaran yang baik.” 
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia terdapat dalam hadits sahih Al-Bukhari, Rasulullah Saw bersabda, “Setiap pemimpin itu diminta pertanggungjawabannya.” 
Perdebatan dasar negara RI telah lama menjadi perdebatan terutama antar kelompok Islam dan Pancasilais (Nasionalis). Bahkan wacana ini, bagi kaum Islamis fanatik masih belum padam dengan fakta terkini, kembali marak wacana syariatisasi tatanan hukum seiring dengan euforia reformasi. 
Kegagalan pembangunan dan krisis moral nasional pasca rezim Soeharto menjadi momentum kaum Islamis untuk menyatakan mosi tidak percaya pada Pancasila. Pancasila dianggap gagal menjadi dasar kenegaraan dan kebangsaan RI oleh kelompok Islamis. Bukti yang paling nyata yakni dengan mengusung romantisisme Negara Islam Indonesia (NII) dengan cita rasa baru yakni bukan mencitrakan NII namun Indonesia Nan Islami. 
Pancasila dan Islam memiliki hubungan yang harmonis. Menggugat Pancasila sebagai ideologi negara hanya akan membawa ketidakpastian baru dan akan menimbulkan kesalahan yang memecah belah eksistensi  NKRI dan pada gilirannya Indonesia akan terbagi menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. 
Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat harus lebih meningkatkan pendalaman agama dan memperkuat nilai wawasan kebangsaan untuk mencegah dan mengantisipasi pergerakan militan dari kelompok Islam garis keras yang selama ini selalu mengaku dan merasa kelompok Islam yang paling benar serta terus melakukan kaderisasi paham radikal dengan tujuan akhir menggantikan Pancasila dan UUD 1945. 
Akhirnya, dengan semangat Nasionalisme dan terus menerapkan implemantasi empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan N KRI serta melakukan perbaikan moral dan akhlak merupakan salah satu cara menangkal sedini mungkin dari upaya menggantikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan Negara dan penyimpangan agama yang tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan Hadits.

Peran Agama dan Pancasila dalam Membangun Masyarakat yang Demokratis 

Setiap negara harus mempunyai dasar negara. Dasar negara merupakan pondasi dari bangunan negara. Kuatnya pondasi negara akan menguatkan berdirinya negara itu. Kerapuhan fundamen suatu negara, berakibat lemahnya negara tersebut. Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofi schegronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee). Dalam pengelolaan atau pengaturan kehidupan bernegara ini dilandasi oleh filsafat atau ideologi pancasila. Fundamen negara ini harus tetap kuat dan kokoh serta tidak mungkin diubah. Mengubah fundamen, dasar, atau ideologi berarti mengubah eksistensi dan sifat negara. Keutuhan negara dan bangsa bertolak dari sudut kuat atau lemahnya bangsa itu berpegang kepada dasar negaranya. Demokrasi tidak datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, diperlukan usaha nyata setiap warga negara dan perangkat pendukungnya yaitu budaya yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu mind set (kerangka berpikir) dan setting social (rancangan mayarakat). Bentuk konkrit dari manifestasi tersebut adalah dijadikanya demokrasi sebagai way of life (pandangan hidup) dalam seluk beluk sendi kehidupan bernegara baik oleh rakyat (masyarakat) maupun oleh pemerintah.
Pemerintahan demokratis membutuhkan kultur demokrasi untuk membuatnya performed (eksis dan tegak). Kultur demokrasi berada dalam masyarakat sendiri. Sebuah pemerintahan yang baik dapat tumbuh dan stabil bila masyarakat pada umumnya memiliki sikap positif dan proaktif terhadap norma-norma dasar demokrasi. Sehingga harus ada keyakinan yang luas di masyarakat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibanding dengan sistem lainya. 
Demokrasi menyatu dengan proses sejarah, pengalaman nyata dan eksperimentasi sosial sehari-hari dalam tata kehidup an bermasyarakat dan bernegara termasuk dalam tata pemerintah. Tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam suatu negara memerlukan ideologi yang terbuka, yaitu ideologi yang tidak dirumuskan “sekali dan untuk selamanya” (once and for all), tidak dengan ideologi tertutup yang konsepnya dirumuskan “sekali dan untuk selamanya” sehingga cenderung ketinggalan zaman (obsolute, seperti terbukti dengan ideologi komunisme). 
Dalam konteks ini, Pancasila sebagai ideologi negara harus ditatap dan ditangkap sebagai ideologi yang terbuka, yaitu lepas dari kata literalnya dalam pembukaan UUD 1945. Penjabaran dan perumusannya harus dibiarkan terus berkembang seiring dinamika masyarakat dan pertumbuhan kualitatifnya, tanpa membatasi kewenangan penafsiran hanya pada satu lembaga “resmi” seperti di negara komunis. Ideologi negara (Pancasila) Indonesia dalam konsep dan sistem demokrasi terbuka terhadap kemungkinan proses-proses “coba dan salah” (trial and error), dengan kemungkinan secara terbuka pula untuk terus-menerus melakukan koreksi dan perbaikan. Di situlah titik kuat suatu ideologi ketika berhadapan dengan demokrasi sebagai ruang keterbukaan. Karena demokrasi, dengan segala kekurangannya, ialah kemampuan untuk mengoreksi diri sendiri melalui keterbukaan itu. Jadi, bila ingin demokrasi tumbuh dan berkembang di negara Indonesia, ideologi Pancasila harus menjadi ideologi terbuka. 
Memahami peran Pancasila di era globalisasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi bila dikaji perkembangannya secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif sehingga kredibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis. 
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Islamisasi Indonesia lewat politik dakwah sebenarnya telah berjalan secara pasti sejak awal Orde Baru hingga puncaknya saat berjalan seiring dengan Penguasa dan I CMI menjadi letak mendasar bagi Islamisasi Indonesia. 
Media massa dan elite Muslim yang duduk di pemerintahan tengah “haus” akan keislaman yang otentik. Sementara itu, wacana Pancasila oleh kaum Nasionalis terasa direduksi menjadi isu kebangsaan dan kebinekaan yang boleh jadi merupakan kegamangan akan trauma stigmatisasi Pancasila di bawah rezim Orba. Diakui atau tidak “perasaan” kaum nasionalis ini menumpulkan wacana Pancasila sebagai Dasar Negara RI.  
Walaupun demikian, meski wacana Islam sebagai solusi bangsa sangatlah lantang sebenarnya kaum Islamis ini juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana Islam menjawab secara riil permasalahan bangsa yang multietnis, multiras, multikeyakinan, dan multikultur. Hal ini dikarenakan Islam yang tidak tunggal itu hanya mengulang-ulang kembali perdebatan yang ada pada sidang Konstituante 1957. 
Bahkan kaum nasionalis pun sepertinya terbawa arus debat kusir yang tak berkesudahan tentang dasar negara yang cocok untuk Bangsa Indonesia yang multi segalanya ini, tanpa pernah serius mengerti dan menjalankan esensi untuk apa dasar Negara itu dibuat. 
Di dalam sejarah perjalanan bangsa, setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah terjadi berbagai peristiwa baik yang bersifat langsung mengancam eksistensi bangsa dan negara maupun yang bersifat tidak langsung. Dimulai dari perbedaan-perbedaan pendapat yang tajam yang membawa dampak negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, disebabkan perbedaan ideologi, hingga memuncak menjadi konflik yang mengakibatkan pertumpahan darah. 
Bangsa Indonesia menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, merupakan pula kepribadian bangsa yang juga memilliki keselarasan dengan nilai agama. Oleh karena itu, pembinaan kehidupan manusia Indonesia sebagai suatu bangsa yang demokratis, harus secara konsisten diarahkan pada sikap atau tingkah laku dan kegiatan yang mencerminkan perwujudan ideologi bangsa. 
Demokrasi merupakan isu global. Keberadaannya dinilai mampu mengentaskan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. Kecenderungan implementasi prinsip-prinsip demokrasi dalam segala lini kehidupan telah membawa banyak keterbukaan bagi masyarakat. Kenyataan ini yang selanjutnysa mendorong masyarakat pada tatanan kehidupan yang lebih beradab. Segala sesuatu telah diputuskan berdasar kebutuhan dan kepentingan banyak orang, aspekaspek yang menjadi kesulitan dalam hidup dapat dibicarakan di atas pondasi demokrasi. Pendek kata, demokrasi telah menjelma sebagai pendorong dalam membentuk satu tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, keadilan, dan kesopanan. 
Pada praktiknya, masih saja terdapat beberapa kejadian yang belum menunjukkan pengejawantahan iklim demokrasi. Oleh karena itu, agama dan Pancasila mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan demokrasi. Demokrasi belumlah dipahami sebagai suatu pondasi kehidupan bermasyarakat, sehingga banyak kejadian yang justru anti-demokrasi. Maraknya kekerasan bertendensi HAM, penipuan, ketidakjujuran, ketidakadilan merupakan praktik anti demokrasi. Kejadian-kejadian tersebut tidak saja menggejala di kehidupan pada umumnya, tetapi juga telah merambah ke sektor pendidikan. Dalam kasus ini, telah terjadi banyak praktik yang diskriminatif dalam dunia pendidikan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan, yang sejatinya mampu menjadi pendorong dan motor penggerak kehidupan demokratis masih mengalami kendala saat mengimplementasikan gagasan demokrasi ini. 
Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara universal. Ciri demokrasi Pancasila adalah pemerintah dijalankan berdasar konstitusi, adanya pemilu secara berkesinambungan, adanya peran kelompok kepentingan, adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas. Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah. Yang paling baik akan diterima, bukan berdasar suara terbanyak. 
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasar konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi Pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rangkuman

  1. Islam inklusif-pluralis merupakan sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap terbuka mengakui adanya lebih dari satu agama yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama dan saling berinteraksi antara penganut satu agama dengan penganut agama lainnya.
  2. Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang bersifat sehat dan harmonis antar sesama warga masya rakat. Konsep inklusif-pluralis yang dilandasi toleransi ini, tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu sikap penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama, perbedaan beragama tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan kerjasama.
  3. Konsep inklusi-pluralisme agama sejak awal sudah ada dalam agama Islam, ia merupakan bagian prinsip dasar dari agama Islam itu sendiri. Agama Islam, sebagai agama yang mengemban misi rahmatan lil ‘alamin memandang inklusif-pluralisme atau keragaman dalam beragama merupakan rahmat dari Allah Swt, yang harus diterima oleh semua umat manusia, karena pluralisme adalah bagian dari otoritas Allah (sunnatullah) yang tidak dapat dibantah oleh manusia.
  4. Inklusi-Pluralis agama dapat terjaga dan terpelihara dengan baik, apabila pemahaman agama yang cerdas dimiliki oleh setiap pemeluk agama. Antar umat beragama perlu membangun dialog dan komunikasi yang intens untuk menjalin hubungan persaudaran yang baik sesama umat beragama. 

Latihan 

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini! 
  1. Apa yang dimaksud dengan inklusi-pluralisme agama? 
  2. Jelaskan konsep Islam tentang inklusif-pluralis dalam beragama! 
  3. Bagaimana peran pendidikan agama dalam mempersiapkan generasi Islam yang inklusif-pluralis dan rahmatan lil ’alamin?
  4. Apa upaya Anda sebagai guru agama dalam: (a) menjadi diri sebagai seorang muslim-muslimah yang inklusifpluralis, (b) mendidik siswa-siswi menjadi inklusif dan pluralis dalam beragama? 
  5. Bagaimana pandangan Islam terhadap Pancasila sebagai dasar negara?

Lembar Kegiatan 

Analisis masalah sebagian umat Islam yang menolak Pancasila dan solusinya.

Tujuan 

Mahasiswa dapat menyadari pentingnya pemahaman terhadap agama dan  dasar negara dan mampu berperan untuk memberikan kontribusi terbaik bagi  NKRI.

Bahan dan Alat 

LCD, laptop, kertas plano, spidol, dan solasi.

Langkah Kegiatan 

  1. Diskusikan sesuai dengan materi dan kelompok Saudara dengan rincian sebagai berikut: 
  • kelompok I: menjelaskan konsep, teori, dan bentukbentuk negara.                      
  • kelompok II: mencermati hubungan negara dan agama. 
  • kelompok III: mencermati sikap umat Islam baik yang pro ataupun yang kontra terhadap dasar negara (Pancasila) 
  1. Presentasikan hasil diskusi!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN [Buku Perkuliahan Program S-1 IAIN Sunan Ampel Surabaya Rumpun Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)]


Semoga Bermanfaat Salam: Moh. Arif Andrian

No comments