Baiat Ekstrimis ISIS melalui Media Sosial (Review film jihad Selfie)

Share:

Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya transaksi jual beli, atau berjabat tangan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat “qad tabaa ya’uu ‘ala al-amri” seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). (Lihat Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174)

Sedangkan “Bai’at” Secara Istilah (Terminologi) adalah “Berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.

Pada film ini mengangkat cerita tentang pola baru perekrutan pejuang ISIS dengan sasaran remaja pada usia belasan tahun melalui media sosial. Berbeda dengan pola lama, di mana individu lebih dulu bergabung dengan kelompok kekerasan kemudian melakukan aksi terorisme, pola baru ini melibatkan peran internet dan media sosial. Individu, terutama remaja, mengakses internet dan mengetahui peristiwa konflik Timur Tengah, kemudian menjalin komunikasi dengan jaringan pelaku sebelum akhirnya terlibat dalam aksi kekerasan, seperti bom bunuh diri. Media sosial telah mengubah pendukung pasif menjadi pendukung aktif.

ISIS sengaja memanfaatkan kecanduan remaja terhadap media sosial dan juga foto pribadi sebagai simbol eksistensi mereka di dunia maya. Mereka kemudian menciptakan image foto memegang senjata sebagai sesuatu yang keren dan layak ditiru. Dengan mudah, kelompok kekerasan ini akan menarik banyak pengikut. Yazid, seorang teman satu asrama Akbar, adalah sosok asosial yang banyak menghabiskan waktu empat jam sehari di depan komputer untuk mengakses internet atau bermain game. Ia menghilang, lalu fotonya muncul di Facebook dengan latar bendera ISIS. Akbar tergoda dengan foto itu dan berniat bergabung dengan IS. Ia juga tertarik dengan iming-iming fasilitas gaji, makanan, dan kesempatan berjihad keliling Timur Tengah, terutama di Suriah, pusat peradaban Islam masa lampau. Ia ingin sekali dilihat orang keren karena berjihad, mencari surga. Ia kemudian menjalin komunikasi dengan Yazid lewat Facebook. Dalam pencarian di internet, Akbar menemukan sosok lain bernama Wildan Mukhallad, remaja cerdas seusianya yang lebih dulu berjihad dengan melakukan bom bunuh diri di Irak. Wildan menjadi inspirasi baginya untuk membulatkan tekad menegakkan daulah Islamiyah pimpinan Abu Bakr Al Baghdadi. Di film ini, Huda, alumnus Pesantren Ngruki Solo, juga menelusuri jejak Wildan di Universitas Al Azhar, Kairo, tempatnya berkuliah, kemudian ke Yogyakarta bertemu keluarganya. Ia juga ke pesantren Al Islam di Lamongan yang dibangun keluarga Ali Ghufron, pelaku utama bom Bali dan mantan jihadis Afghanistan pada 1980-an, tempat Wildan nyantri sebelum ke Mesir. Lima alumni dan satu pengajar pesantren ini pindah ke Suriah dan bergabung bersama ISIS, meskipun secara kelembagaan pesantren ini tidak mendukung daulah versi Al Baghdadi.

Berdasarkan hasil riset Yahoo di Indonesia yang bekerja sama dengan Taylor Nelson Sofres pada tahun 2009, pengguna Internet terbesar adalah usia 15-19 tahun, sebesar 64 persen. Sementara berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia 0-8 tahun tergolong usia anak-anak dan sementara 15-19 termasuk golongan remaja. Sebanyak 53 persen dari kalangan remaja itu mengakses internet melalui warung internet, sementara 19 persen mengakses via telepon seluler. Sedangkan data terbaru di tahun 2015 cenderung terbalik dengan data tahun 2009, seiring dengan banyaknya pengguna internet yang memiliki gawai (smartphone), sehingga pengguna internet saat ini lebih banyak mengakses lewat seluler dibanding warnet.

Perkembangan teknologi bagai pisau bermata dua. Manfaat yang dihasilkan selaras dengan ancaman bahaya yang mungkin ditimbulkan apabila digunakan tidak semestinya. Mengawali tahun 2010, media massa  di Indonesia mulai dari televisi, surat kabar, tabloid, dan radio menginformasikan tentang kasus kriminal yang melibatkan salah satu situs jejaring sosial yang sedang marak digunakan remaja di Indonesia, seperti Facebook, Blackberry massanger, Twitter, Instagram, Line, Whatsapp. Sebagai contoh, kejahatan yang marak diberitakan di media massa berkaitan dengan penggunaan facebook oleh remaja adalah penipuan, prostitusi online, human trafficking, dan pencemaran nama baik (Juju, 2010:73).

Anak-anak dan remaja saat ini merupakan golongan masyarakat yang hidup di era digital (digital native). Sementara itu, generasi orangtua dari mereka saat ini masih cenderung menjadi penduduk pendatang digital (digital immigrant). Akibatnya, kesadaran akan potensi negatif yang mengancam anak-anak dan remaja tidak disadari dan diseriusi oleh kalangan dewasa. Anak dan remaja dapat digambarkan sebagai digital native, merupakan kalangan serupa penduduk asli di dunia digital saat ini. Mereka lahir dan tumbuh di era digital yang menjadikan mereka memiliki cara berpikir, berbicara, dan bertindak berbeda dengan generasi sebelumnya yang diibaratkan sebagai digital immigrant.

Adapun kalangan orangtua saat ini diasosiasikan sebagai digital immigrant atau penduduk pendatang yang masih berusaha beradaptasi di dunia digital sebagai salah satu hasil dari perkembangan teknologi yang baru, orangtua sebagai digital immigrant dituntut untuk melakukan adaptasi secara instan terhadap teknologi yang marak digunakan oleh anak remajanya. Kurangnya pengetahuan orangtua terhadap situs jejaring sosial karena perbedaan persepsi yang ada diantara orangtua dan remaja. Persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimulus indrawi. (Rakhmat, 2005:51). 

Sebagai orangtua yang tergolong ke dalam digital immigrant, mereka mempersepsikan bahwa hadirnya media sosial saat ini tidak ditujukan oleh orangtua yang tidak banyak berinteraksi dengan kemajuan teknologi seperti anak remaja mereka. Persepsi orangtua dalam memahami media sosial yaitu bahwa teknologi seperti media sosial pantasnya digunakan bagi anak muda. Seperti orangtua yang merasakan bahwa ketidaktahuannya akan apa itu media sosial selain karena merasa gagap teknologi juga rasa malu jika dipandang sebagai orangtua yang terlalu gaul dan akrab dengan media baru.

Anggapan dari lingkungan yang juga tidak memahami media sosial menjadi pemicu kurangnya pengetahuan mengenai teknologi ini. Orang tua yang tidak gagap teknologi  tentunya dapat memberikan pengarahan kepada anak tentang manfaat dan tujuan penggunaan media sosial yang positif. Selain itu pemahaman tentang teknologi akan mempermudah orangtua dalam memberikan pengertian kepada remaja mengenai esensi menggunakan teknologi baru dengan bijaksana. Bukan hanya itu, orangtua yang dekat dengan perkembangan anak, dan memahami perkembangan jaman akan mudah mengawasi dan memberikan arahan positif bagi pergaulan anak-anaknya di dunia nyata maupun dunia maya. 

Pesan utama yang ingin disampaikan dalam film adalah radikalisme adalah isu kompleks, tetapi dapat dicegah melalui peran keluarga membangun hubungan serta komunikasi yang sehat dan hangat dengan anak-anaknya. Seperti kisah Akbar, yang akhirnya tahu bahwa Yazid pergi ke Suriah tanpa memberi tahu dan tanpa restu orangtua, yang membuat ibunya sakit-sakitan memikirkan anaknya. Ingatan Akbar tentang kedekatan dirinya dengan keluarga, terutama sosok ibunya, membuat dirinya menangis di hadapan guru hafalan Qur’an di Turki. Ia mendadak membatalkan niatnya bergabung ISIS.

Semoga Bermanfaat
Salam : Moh. Arif Andrian

No comments